Teknologi WLAN
Frekuensi yang kini umum dipergunakan untuk aplikasi WLAN adalah 2.4 Ghz dan 5.8 Ghz yang secara internasional dimasukkan ke dalam wilayah licensce exempt (bebas lisensi) dan dipergunakan bersama oleh publik (frequency sharing). Belakangan oleh forum WSIS yang disponsori oleh PBB dan badan dunia seperti ITU, serta industri teknologi, frekuensi ini direkomendasikan sebagai tulang punggung penetrasi Internet di negara berkembang terutama untuk area yang belum terlayani oleh infrastruktur telekomunikasi konvensional.
Teknologi yang digunakan untuk WLAN mayoritas
menggunakan standar IEEE 802.11 (a/b/g). Perbedaan antar standar ini adalah
pada modulasi transmisinya yang menentukan kapasitas layanan yang dihasilkan.
Pada standar 802.11b, kapasitas maksimalnya 11 Mbps, 802.11g dapat mencapai 20
Mbps keduanya bekerja di frekuensi 2.4 Ghz. Sementara standar 802.11a bekerja
pada frekuensi 5.8 Ghz. Karena lebar pita frekuensi yang lebih luas dan
modulasi yang lebih baik, maka perangkat yang berbasis standar ini mampu
melewatkan data hingga kapasitas 54 dan 108 Mbps dan menampung jumlah pengguna
lebih banyak.
Selain itu ada kelompok industri yang membangun
aliansi, disebut dengan Wireless Alliance (WiFi Consortium). Lembaga ini
berupaya menerapkan standar interoperabilitas antar perangkat WLAN sebagai
jaminan bagi pengguna bahwa setiap perangkat yang telah disertifikasi WiFi akan
dapat saling terhubung meskipun berbeda vendor atau pemanufaktur.
WLAN juga memiliki kelebihan lain dalam hal kemudahan
implementasi serta fleksibilitas. Semua perangkat yang saat ini ada di pasaran,
memiliki interface yang user friendly dan sebagian besar kompatibel dengan
berbagai macam sistem operasi dan teknologi jaringan LAN eksisting. Bentuk
perangkat yang kompak dengan berbagai macam fitur yang beragam, memudahkan
perencanaan dan implementasi jaringan.
Teknologi WLAN saat ini juga sudah sangat mapan
sehingga pengguna punya banyak alternatif solusi. Sebagian besar produk WiFi
menggunakan chipset dan fitur yang generik, meskipun dimanufaktur oleh sejumlah
vendor berbeda dengan brandname masing-masing. Karena bersifat massal, maka
harganya juga sudah sangat terjangkau. Sebuah sistem AP lengkap, hanya
membutuhkan sekitar $ 200 – $ 500. Sedangkan untuk pengguna, harganya sudah di
bawah $ 100.
Keterbatasan
Perangkat WLAN bekerja pada frekuensi publik yang
bebas lisensi, sehingga isu utamanya adalah terjadinya interferensi antar
perangkat dan pengguna. Karena pada frekuensi ini sipapun bebas menggunakan dan
memanfaatkan, dengan syarat harus toleran serta memperhatikan dan menghormati
kondisi eksisting. Sehingga ada etika dan tanggung jawab moral untuk
bersama-sama mengelola resource tersebut sehingga setiap pemain dapat hidup
berdampingan.
Pada setiap perangkat WLAN terdapat mekanisme dan
fitur untuk menghadapi interferensi. Namun yang paling menentukan sebenarnya adalah
desain jaringan yang tepat untuk setiap situasi yang dihadapi dan kecermatan
instalasi. Seperti misalnya, kondisi line of sight (tanpa penghalang) dan
menghitung efek redaman serta kemungkinan terjadinya multipath (sinyal pantulan
yang mengganggu).
Teknologi media transmisi WLAN sendiri sifatnya adalah
bridging (Layer 2) dan sangat mirip fungsinya dengan perangkat hub pada
jaringan LAN ethernet kabel. Sehingga pada dasarnya kapasitas maksimum yang
dapat dilayani oleh sebuah AP, misalnya standar 802.11b adalah 11 Mbps, harus
dibagi kepada sejumlah pengguna yang aktif. Sehingga semakin banyak pengguna
aktif, performance dan troughput jaringan akan terdegradasi. Sehingga tingkat
ekspektasi pengguna juga harus diturunkan terutama dari segi kualitas aksesnya.
Meskipun memiliki sejumlah fitur dan teknologi
pengamanan seperti filtering MAC address, enkripsi WEP atau WPA dan kemampuan
VLAN dan VPN, namun tetap saja kualitasnya tidak sebagus perangkat teknologi
dengan media kabel. Selain juga pada umumnya penerapan fitur keamanan akan
menurunkan performa sistem. Sehingga apabila aplikasi pengguna sangat
memerlukan standar security yang tinggi, maka jaringan WLAN bisa menjadi salah
satu titik kelemahan yang harus diwaspadai dan disikapi secara berhati-hati.
Aplikasi Indoor
Aplikasi utama WLAN disebut dengan HotSpot, yaitu
sebuah jaringan yang bisa melayani kebutuhan pengguna bergerak. Pengguna dengan
perangkat mobile gadget seperti PDA, notebook bisa mengakses Internet di lokasi
tertentu yang tersedia jaringan HotSpot WLAN. Semakin meluasnya perkembangan
HotSpot telah mendorong terbentuknya bisnis model baru yang memungkinkan setiap
provider melakukan kerjasama roaming bahkan hingga ke jaringan internasional,
sebagaimana yang terjadi pada bisnis selular dengan memanfaatkan layanan
otentikasi pelanggan dan clearing house semacam iPass.
Pengguna bisa mendaftar sebagai pelanggan tetap pada
provider HotSpot, sehingga bisa mengakses dari lokasi manapun yang tersedia.
Pilihan lain, menjadi pelanggan on demand, biasanya secara pre paid dengan
membeli voucher akses Internet via HotSpot pada suatu lokasi dari provider
tertentu untuk durasi waktu tertentu. Pelanggan on demand biasanya lebih bebas
untuk memilih provider mana yang akan digunakan, karena suatu lokasi bisa saja
tersedia beberapa HotSpot dari sejumlah provider yang berbeda.
Aplikasi lain adalah HotSpot di dalam jaringan
internal perusahaan. Apabila pengguna di lingkungan perusahaan banyak yang
menggunakan perangkat gadget mobile, maka diperlukan HotSpot pada beberapa
lokasi strategis untuk melayani kebutuhan tersebut. Kebanyakan perangkat mobile
saat ini sudah WiFi compliance, seperti misalnya notebook berbasis procesor
Intel Centrino yang sudah built in dengan kemampuan WiFi. Apabila pengguna
jenis ini masih tetap menggunakan kabel, maka mobilitasnya akan terhambat.
Aplikasi Outdoor
Di banyak negara berkembang (termasuk Indonesia) yang
sangat terbatas ketersediaan infrastruktur telekomunikasinya, teknologi WLAN
dengan kreatifitas tertentu banyak dijadikan sebagai alternatif akses last
mile. Perangkat WiFi pada umumnya memiliki konektor yang bisa disambungkan
dengan antena eksternal yang memiliki gain lebih tinggi. Dengan kombinasi ini,
sebuah jaringan WLAN yang semula hanya bisa menjangkau area sampai radius 100 –
200 meter, kini bisa diperluas menjadi 3 – 5 km.
Aplikasi outdoor ini meskipun menimbulkan konsekuensi
biaya tambahan seperti untuk pembelian antena eksternal, jasa instalasi dan
tiang atau tower penyangga namun secara umum masih sangat terjangkau oleh pelanggan
pada umumnya. Untuk aplikasi pada area yang dekat (1 – 2 km) cukup banyak
eksperimen serta produk asesoris lokal (seperti antenna) ditawarkan sehingga
biaya bisa lebih di tekan sehingga makin menjangkau segmen pengguna yang lebih
luas.
Berbagai kemudahan dan struktur biaya yang makin
rendah, mampu mendorong tumbuhnya bisnis layanan jasa baru yang disebut dengan
Wireless ISP (WISP), serta RT/RW Net. WISP menyelenggarakan layanannya dengan
berbasis pada teknologi WLAN, baik itu di sisi backbone maupun distribusi last
mile kepada pelanggannya. Pada umumnya diselenggarakan oleh pengusaha lokal
dengan skala usaha menengah dengan kualitas layanan menengah. Pelanggan utama
WISP biasanya adalah Warung Internet (WARNET) yang memang telah dikenal sebagai
ujung tombak penetrasi Internet karena biaya yang relatif rendah.
Sementara RT/RW Net umumnya dikembangkan berdasarkan
inisiatif komunitas di suatu lokasi pemukiman dan bersifat swadaya serta non
komersial. Prinsipnya adalah berbagi pakai akses Internet secara massal untuk
mereduksi biaya. Untuk last mile distribution, RT/RW Net juga mengandalkan
teknologi WLAN dengan kombinasi produk eksperimentasi homebrew seperti antena
dari kaleng susu dan modifikasi perangkat WiFi dengan port USB yang tergolong
low end product.
Teknologi dan desain outdoor yang sama di Indonesia
juga banyak dipergunakan untuk aplikasi jaringan internal perusahaan. Misalnya
sebagai backbone antar gedung dalam satu area atau distribusi jaringan antar
kantor cabang dalam satu kota maupun digunakan sebagai infrastruktur jaringan
backup bagi aplikasi yang mission critical.
Dari segi aplikasi private, pengguna WLAN yang cukup
menonjol dalam hal jumlah adalah komunitas pendidikan dan Pemerintah Daerah
(Pemda). Pemanfaatan teknologi WLAN diyakini mampu mereduksi biaya rutin
jaringan lokal close user group yang selama ini dilayani oleh operator
telekomunikasi dengan beban charging berdasarkan durasi waktu atau flat bulanan
hanya untuk sewa trunk atau pipa (media) akses saja. Dengan WLAN yang bebas lisensi
dan biaya abonemen, dana operasional bisa dialihkan untuk meningkatkan kualitas
content aplikasi E-Learning maupun E-Goverment.
Masa Depan WLAN
Masa depan teknologi WLAN terutama untuk aplikasi
Outdoor adalah bergabung saling melengkapi (komplementer) dengan teknologi yang
akan datang yaitu WiMAX. Dengan kombinasi itu WLAN akan menjadi bagian dari
topologi jaringan Wireless MAN yang skalanya jauh lebih luas dan masif. Di
Indonesia prototipe penggabungan kedua teknologi itu telah diwujudkan di daerah
bencana Aceh, terutama di kota Banda Aceh, diselenggarakan oleh kelompok
relawan yang tergabung dalam Yayasan AirPutih.
Kompleksitas desain dan implementasi jaringan Wireless
MAN memerlukan pendekatan dan bentuk topologi yang berbeda terutama dalam hal
isu routing, redudansi dan agregasi di sisi backhaul. Pada saat ini sedang
dikembangkan sebuah teknologi yang disebut dengan Mesh Topology. Dengan
teknologi ini, dimungkinkan sebuah aplikasi routing yang lebih dinamis,
kemudahan agregasi dan kemampuan redudansi yang diperlukan untuk menangani
desain jaringan yang sangat kompleks dan terdiri dari berbagai macam teknologi,
produk dan fiturnya. Sebagian produk WLAN saat ini sudah mulai
mengimplementasikan Mesh Topology walaupun masing-masing pabrikan masih menggunakan
standar proprietary yang tidak menjamin terjadinya interoperabilitas.
Pada akhirnya, Teknologi WLAN lambat laun akan
tergeser oleh penetrasi dari jaringan kabel yang diselenggarakan oleh operator.
Namun, teknologi ini tidak akan habis begitu saja karena seiring dengan
penetrasi tersebut akan terbuka lagi pangsa pasar baru di daerah suburban dan
rural yang masih rendah nilai ekonomis pasarnya bagi teknologi jaringan kabel.
Sementara solusi broadband tetap akan dibutuhkan di wilayah tersebut. WLAN
masih akan tetap menjadi solusi terbaik untuk misi penetrasi akses Internet
broadband pioneer.
(Penulis adalah anggota Dewan Ketua Asosiasi IndoWLI,
saat ini bergabung dengan Yayasan AirPutih)
Tulisan ini dimuat di SDA Magazine Edisi Juli 2005
Tulisan ini dimuat di SDA Magazine Edisi Juli 2005
Tidak ada komentar:
Posting Komentar